Konstelasi perbintangan Hatysa yang asli terbuat
dari pahatan batu ruangan itu sendiri sehingga tidak bisa dipindahkan. Itu
adalah peninggalan berharga semenjak kerajaan ini didirikan.”
“Tunggu
sebentar, mengapa raja repot-repot membuat replikanya? Bukankah lebih baik
langsung ke ruangan itu jika ingin melihatnya,” potongku cepat-cepat.
Pak
Gaspar tersenyum. “Kau tahu kan raja kita bertubuh besar. Sedangkan jalan
menuju ruangan rahasia cukup kecil dan tersembunyi. Dia akan selalu kesulitan
melewatinya selama dia tidak menurunkan berat badan.” Aku tersenyum geli
mendengarnya. “Dan…” lanjut Pak Gaspar berdiri lalu berjalan ke arah ukiran
naga besar di ujung ruangan yang dibingkai persegi panjang secara vertikal,
kemudian menekan kepalanya kuat-kuat hingga terdengar bunyi seperti batu yang
berpindah. Kepala naga melesak masuk ke dalam. Tiba-tiba bunyi gemuruh
terdengar dan ukiran naga tersebut bergeser ke kiri memperlihatkan lubang
persegi panjang yang gelap di dinding.
“Kau
memang cukup cerdas menanyakan perihal alasan raja membuat replikanya. Tapi
tidak cukup teliti. Bukankah tadi aku berkata Raja Saroush gemar membaca,”
seringai jahil Pak Gaspar terlukis di wajahnya. Aku tahu dia menguji
penalaranku.
“Ruangan
itu di perpustakaan ini!” pekikku. “Kapan Pak Gaspar menemukannya?”
“Sejak
lama aku mencarinya. Aku penasaran dengan isi ruangan itu. Sampai ku dengar
dari Pangeran Behrooz perihal hobinya yang sama dengan kakeknya, yaitu membaca.
Aku terpikir bahwa mungkin ruangan itu ada di sini. Dan ukiran naga ini adalah
replika dari naga favorit Raja Saroush, naga Hydor Gunung Ceginus di utara yang
buas. Aku menemukannya beberapa bulan yang lalu,” jawab Pak Gaspar.
“Emm…
aku tidak mengetahui banyak tentang naga itu, aku belum sampai membaca pada
bagian tersebut,” timpalku. “Tapi jika baru saja ditemukan, mengapa aku tidak
mengetahuinya? Apa aku tidak cukup terpercaya?”
“Jangan
berpikir seperti itu. Aku ingin memberi tahukannya saat ulang tahunmu ke-17
nanti. Tapi dipercepat tidak apalah,” Pak Gaspar masih tersenyum. Aku membalas
tersenyum, mencoba menunjukkan rasa menghargai. “Maaf sudah sempat berburuk
sangka,” lanjutku lagi.
Pak
Gaspar tertawa dan mengelus kepalaku. Rasanya seperti dielus seorang ayah.
“Oke…
kita bersiap melihat rahasianya?” tanya Pak Gaspar menunjuk ke lubang tadi. Aku
mengangguk dengan semangat.
Ia
lalu mengambil obor dari laci lemari perkakas di arah yang berlawanan dengan
lubang tersebut dan menyalakannya.
0 komentar:
Posting Komentar