28
Oktober

Konstelasi perbintangan Hatysa yang asli terbuat dari pahatan batu ruangan itu sendiri sehingga tidak bisa dipindahkan. Itu adalah peninggalan berharga semenjak kerajaan ini didirikan.”
            “Tunggu sebentar, mengapa raja repot-repot membuat replikanya? Bukankah lebih baik langsung ke ruangan itu jika ingin melihatnya,” potongku cepat-cepat.
            Pak Gaspar tersenyum. “Kau tahu kan raja kita bertubuh besar. Sedangkan jalan menuju ruangan rahasia cukup kecil dan tersembunyi. Dia akan selalu kesulitan melewatinya selama dia tidak menurunkan berat badan.” Aku tersenyum geli mendengarnya. “Dan…” lanjut Pak Gaspar berdiri lalu berjalan ke arah ukiran naga besar di ujung ruangan yang dibingkai persegi panjang secara vertikal, kemudian menekan kepalanya kuat-kuat hingga terdengar bunyi seperti batu yang berpindah. Kepala naga melesak masuk ke dalam. Tiba-tiba bunyi gemuruh terdengar dan ukiran naga tersebut bergeser ke kiri memperlihatkan lubang persegi panjang yang gelap di dinding.
            “Kau memang cukup cerdas menanyakan perihal alasan raja membuat replikanya. Tapi tidak cukup teliti. Bukankah tadi aku berkata Raja Saroush gemar membaca,” seringai jahil Pak Gaspar terlukis di wajahnya. Aku tahu dia menguji penalaranku.
            “Ruangan itu di perpustakaan ini!” pekikku. “Kapan Pak Gaspar menemukannya?”
           “Sejak lama aku mencarinya. Aku penasaran dengan isi ruangan itu. Sampai ku dengar dari Pangeran Behrooz perihal hobinya yang sama dengan kakeknya, yaitu membaca. Aku terpikir bahwa mungkin ruangan itu ada di sini. Dan ukiran naga ini adalah replika dari naga favorit Raja Saroush, naga Hydor Gunung Ceginus di utara yang buas. Aku menemukannya beberapa bulan yang lalu,” jawab Pak Gaspar.
            “Emm… aku tidak mengetahui banyak tentang naga itu, aku belum sampai membaca pada bagian tersebut,” timpalku. “Tapi jika baru saja ditemukan, mengapa aku tidak mengetahuinya? Apa aku tidak cukup terpercaya?”
            “Jangan berpikir seperti itu. Aku ingin memberi tahukannya saat ulang tahunmu ke-17 nanti. Tapi dipercepat tidak apalah,” Pak Gaspar masih tersenyum. Aku membalas tersenyum, mencoba menunjukkan rasa menghargai. “Maaf sudah sempat berburuk sangka,” lanjutku lagi.
               Pak Gaspar tertawa dan mengelus kepalaku. Rasanya seperti dielus seorang ayah.
            “Oke… kita bersiap melihat rahasianya?” tanya Pak Gaspar menunjuk ke lubang tadi. Aku mengangguk dengan semangat.
            Ia lalu mengambil obor dari laci lemari perkakas di arah yang berlawanan dengan lubang tersebut dan menyalakannya.

0 komentar:

Posting Komentar