Sementara itu, air muka Pak Gaspar berubah keruh
mendengar pertanyaanku. Tampak merenung sebentar lalu mulutnya membuka seakan
ingin mengatakan sesuatu namun, ditutupnya lagi—mengurungkan niatnya memberi
tahu.
“Aku
akan menceritakannya nanti. Sekarang bukan waktu yang tepat untuk itu.”
Akhirnya Pak Gaspar mengatakan sesuatu. “Andaikan kau pergi dalam waktu dekat
ini, apa bekal dan persiapanmu untuk berkelana kelak sudah cukup?” tanyanya
begitu melihatku ingin protes. Aku menggeleng sebagai jawaban. “Ketika kau
sudah siap untuk pergi nak, akan kuceritakan keadaan di luar sana agar kau
tidak terkejut menghadapi kenyataan sesungguhnya. Segala yang terlihat indah
ternyata hanya fatamorgana,” desahnya.
Suasana
menjadi lebih sunyi. “Mungkin fatamorgana dapat kutemui nanti di gurun.” ucapku
memecah kesunyian sembari mengalihkan cerita karena tampaknya Pak Gaspar tidak
ingin membicarakan lagi masalah sebelumnya. Kuduga Pak Gaspar pernah ke daerah
gersang itu. Pak Gaspar yang tadinya tegang mendadak tertawa dan menjadi lebih
rileks. “Ah… ya.. ya.. di kerajaan subur bagai permadani hijau ini memang tidak
ada gurun. Setahuku aku hanya pernah menemukan fatamorgana di gurun saja. Waktu
itu…”Pak Gaspar menceritakan kejadian saat sepasukan prajurit yang dipimpinnya
mendesak pasukan lawan hingga mencapai gurun di barat. Kegembiraan dari
kemenangan yang didapat ternyata tidak bertahan lama karena tiba-tiba terjadi
badai pasir. Seluruh perbekalan hilang, pasukan tercerai-berai, dan mereka
kehilangan arah di gurun yang menyesatkan. Puncak daripadanya adalah saat salah
seorang dari mereka melihat oase yang ternyata hanya merupakan fatamorgana lalu
mereka yang dilanda kekurangan cairan hebat berlarian ke arah yang dimaksud.
Setelah berlari cukup jauh, mereka tidak kunjung mencapai tujuan yang
diharapkan. Pak Gaspar pun menyadari bahwa itu hanyalah fatamorgana—sebuah
tipuan gurun. Beruntung saat harapan tinggal sisa-sisa, kerajaan Blezard
mengirimkan sepasukan naga terbang yang tadinya merupakan bantuan untuk perang.
Bantuan itu tidak mendapati pasukan pimpinan Pak Gaspar di area yang seharusnya
menjadi tujuan mereka hingga akhirnya mereka berpencar mencari dan menemukan
sedikit dari pasukan yang tersisa.
Saat aku ingin bertanya
lebih lanjut, pintu perpustakaan membuka dan sekelebat pakaian kerajaan
terlihat. Yang jelas itu bukan Pangeran Aphrez. Dia paling anti ke
perpustakaan.
“Kelihatannya
seru, sedang bicara tentang apa?” tanya Pangeran Niru langsung menduduki salah
satu bangku kosong.
Aku
tersenyum melihat kedatangan Pangeran Niru. Dia adalah anak ke-4 dari Raja
Arsalan—raja yang bertakhta saat ini. Bertolak belakang dengan Pangeran Aphrez,
Pangeran Niru adalah orang yang ramah, rendah hati, bijaksana, sedikit humoris,
dan sama denganku—haus akan pengetahuan. Sifat yang jarang ditemui pada diri
seorang pangeran. Tapi justru dengan sifatnya itu, raja seakan meng-anak
tirikannya.
“Tipuan
gurun,” celetuk Pak Gaspar.
0 komentar:
Posting Komentar