23
Oktober



            Sementara itu, air muka Pak Gaspar berubah keruh mendengar pertanyaanku. Tampak merenung sebentar lalu mulutnya membuka seakan ingin mengatakan sesuatu namun, ditutupnya lagi—mengurungkan niatnya memberi tahu.
            “Aku akan menceritakannya nanti. Sekarang bukan waktu yang tepat untuk itu.” Akhirnya Pak Gaspar mengatakan sesuatu. “Andaikan kau pergi dalam waktu dekat ini, apa bekal dan persiapanmu untuk berkelana kelak sudah cukup?” tanyanya begitu melihatku ingin protes. Aku menggeleng sebagai jawaban. “Ketika kau sudah siap untuk pergi nak, akan kuceritakan keadaan di luar sana agar kau tidak terkejut menghadapi kenyataan sesungguhnya. Segala yang terlihat indah ternyata hanya fatamorgana,” desahnya.
            Suasana menjadi lebih sunyi. “Mungkin fatamorgana dapat kutemui nanti di gurun.” ucapku memecah kesunyian sembari mengalihkan cerita karena tampaknya Pak Gaspar tidak ingin membicarakan lagi masalah sebelumnya. Kuduga Pak Gaspar pernah ke daerah gersang itu. Pak Gaspar yang tadinya tegang mendadak tertawa dan menjadi lebih rileks. “Ah… ya.. ya.. di kerajaan subur bagai permadani hijau ini memang tidak ada gurun. Setahuku aku hanya pernah menemukan fatamorgana di gurun saja. Waktu itu…”Pak Gaspar menceritakan kejadian saat sepasukan prajurit yang dipimpinnya mendesak pasukan lawan hingga mencapai gurun di barat. Kegembiraan dari kemenangan yang didapat ternyata tidak bertahan lama karena tiba-tiba terjadi badai pasir. Seluruh perbekalan hilang, pasukan tercerai-berai, dan mereka kehilangan arah di gurun yang menyesatkan. Puncak daripadanya adalah saat salah seorang dari mereka melihat oase yang ternyata hanya merupakan fatamorgana lalu mereka yang dilanda kekurangan cairan hebat berlarian ke arah yang dimaksud. Setelah berlari cukup jauh, mereka tidak kunjung mencapai tujuan yang diharapkan. Pak Gaspar pun menyadari bahwa itu hanyalah fatamorgana—sebuah tipuan gurun. Beruntung saat harapan tinggal sisa-sisa, kerajaan Blezard mengirimkan sepasukan naga terbang yang tadinya merupakan bantuan untuk perang. Bantuan itu tidak mendapati pasukan pimpinan Pak Gaspar di area yang seharusnya menjadi tujuan mereka hingga akhirnya mereka berpencar mencari dan menemukan sedikit dari pasukan yang tersisa.
Saat aku ingin bertanya lebih lanjut, pintu perpustakaan membuka dan sekelebat pakaian kerajaan terlihat. Yang jelas itu bukan Pangeran Aphrez. Dia paling anti ke perpustakaan.
            “Kelihatannya seru, sedang bicara tentang apa?” tanya Pangeran Niru langsung menduduki salah satu bangku kosong.
            Aku tersenyum melihat kedatangan Pangeran Niru. Dia adalah anak ke-4 dari Raja Arsalan—raja yang bertakhta saat ini. Bertolak belakang dengan Pangeran Aphrez, Pangeran Niru adalah orang yang ramah, rendah hati, bijaksana, sedikit humoris, dan sama denganku—haus akan pengetahuan. Sifat yang jarang ditemui pada diri seorang pangeran. Tapi justru dengan sifatnya itu, raja seakan meng-anak tirikannya.
            “Tipuan gurun,” celetuk Pak Gaspar.

0 komentar:

Posting Komentar