20
Oktober


            Sambil mengatur nafas aku berjalan menuju salah satu meja baca dan membanting diri di kursi. Pak Gaspar melihatku dengan kacamata tebalnya dari balik meja pengawas dan mengatakan dengan santai, “Pangeran Aphrez lagi tentunya.”
            Aku mendengus membenarkan sambil mulai membersihkan meja-meja yang berdebu.
            “Sekarang dia semakin berani saja. Pagi ini dia bahkan memintaku menjadi selirnya.” Aku menceritakan percakapan yang terjadi tadi. Pak Gaspar hanya tertawa. Dia tidak menganggap serius. Tidak sepertiku yang khawatir perkataan Pangeran Aphrez akan terjadi.
“Wajar saja, umurmu sudah pantas untuk menikah,” timpal seseorang dari balik salah satu rak buku. Suara itu mengagetkanku. Sesosok laki-laki berpakaian kerajaan menampakkan diri lalu melenggang pergi sambil membaca sebuah buku tanpa menoleh sedikit pun. Aku menundukkan kepala begitu ia lewat. Pangeran kedua, Pangeran Behrooz yang pendiam dan serius. Tidak seperti kakaknya, tubuhnya tinggi tegap dengan gerak-gerik anggun. Setiap pagi ia ada di sini meminjam sebuah buku.
            “16 tahun!!” protesku begitu pintu perpustakaan menutup. “Masih banyak yang ingin kulakukan dibanding terpenjara dalam sangkar emas.” Aku mulai membersihkan rak-rak buku, tidak sabar ingin melanjutkan membaca ‘Kerajaan Naga’. “Aku bahkan belum menghabiskan seluruh buku disini,” lanjutku lagi. Pak Gaspar turun dari kursi di belakang meja pengawas, lalu duduk di kursi dekat rak yang sedang kubersihkan.
            “Memangnya jika belum mau menikah, apa yang ingin kau lakukan nak?” tanyanya. Aku senang di panggil ‘nak’ seperti itu oleh Pak Gaspar. Aku mendapati figur seorang ayah padanya yang tidak kudapati dari ayah kandungku yang pemabuk. Selain itu, Pak Gaspar juga menganggapku anak sendiri. Istrinya meninggal saat melahirkan anaknya—anak pertamanya. Kata beliau, mataku mirip dengan mata istrinya, mata bulat hitam berbinar dan dibingkai bulu mata yang lentik. Juga seandainya anaknya terlahir hidup, dipastikan seumur denganku.
            Saat menjawab pertanyaan itu, mataku menerawang jauh. “Aku ingin keluar dari tempat ini, Pak Gaspar. Pergi berkelana ke banyak kerajaan. Mengenal banyak orang. Mempelajari banyak hal. Menggali ilmu-ilmu. Membuktikan dunia semenakjubkan yang kubaca di buku…” kata-kataku menggantung, membayangkan hal tersebut dan merasa seperti aku sedang berada di dunia lain yang belum pernah kutemui. Entah di timur, entah di barat. Namun, aku tersentak dan dengan cepat menyadari bahwa aku masih di sini. Di perpustakaan ini. Di Kerajaan Blezard, suatu daerah di tenggara, dengan musim panas dan penghujan yang seimbang. Kulirik Pak Gaspar yang tersenyum mendengar pengakuanku.
            “Mimpi yang luar biasa. Jarang sekali ada gadis kecil sepertimu yang bermimpi seperti itu. Jangankan seorang gadis, seorang pemuda saja nyaris tidak ada yang ingin pergi dari ibukota ini.” Pak Gaspar menggeleng-geleng.

0 komentar:

Posting Komentar