Sambil mengatur nafas aku berjalan menuju salah satu
meja baca dan membanting diri di kursi. Pak Gaspar melihatku dengan kacamata
tebalnya dari balik meja pengawas dan mengatakan dengan santai, “Pangeran
Aphrez lagi tentunya.”
Aku
mendengus membenarkan sambil mulai membersihkan meja-meja yang berdebu.
“Sekarang
dia semakin berani saja. Pagi ini dia bahkan memintaku menjadi selirnya.” Aku
menceritakan percakapan yang terjadi tadi. Pak Gaspar hanya tertawa. Dia tidak
menganggap serius. Tidak sepertiku yang khawatir perkataan Pangeran Aphrez akan
terjadi.
“Wajar saja, umurmu
sudah pantas untuk menikah,” timpal seseorang dari balik salah satu rak buku.
Suara itu mengagetkanku. Sesosok laki-laki berpakaian kerajaan menampakkan diri
lalu melenggang pergi sambil membaca sebuah buku tanpa menoleh sedikit pun. Aku menundukkan kepala begitu ia lewat. Pangeran kedua, Pangeran
Behrooz yang pendiam dan serius. Tidak seperti kakaknya, tubuhnya tinggi tegap
dengan gerak-gerik anggun. Setiap pagi ia ada di sini meminjam sebuah buku.
“16
tahun!!” protesku begitu pintu perpustakaan menutup. “Masih banyak yang ingin
kulakukan dibanding terpenjara dalam sangkar emas.” Aku mulai membersihkan
rak-rak buku, tidak sabar ingin melanjutkan membaca ‘Kerajaan Naga’. “Aku
bahkan belum menghabiskan seluruh buku disini,” lanjutku lagi. Pak Gaspar turun
dari kursi di belakang meja pengawas, lalu duduk di kursi dekat rak yang sedang
kubersihkan.
“Memangnya
jika belum mau menikah, apa yang ingin kau lakukan nak?” tanyanya. Aku senang
di panggil ‘nak’ seperti itu oleh Pak Gaspar. Aku mendapati figur seorang ayah
padanya yang tidak kudapati dari ayah kandungku yang pemabuk. Selain itu, Pak
Gaspar juga menganggapku anak sendiri. Istrinya meninggal saat melahirkan
anaknya—anak pertamanya. Kata beliau, mataku mirip dengan mata istrinya, mata
bulat hitam berbinar dan dibingkai bulu mata yang lentik. Juga seandainya
anaknya terlahir hidup, dipastikan seumur denganku.
Saat
menjawab pertanyaan itu, mataku menerawang jauh. “Aku ingin keluar dari tempat
ini, Pak Gaspar. Pergi berkelana ke banyak kerajaan. Mengenal banyak orang.
Mempelajari banyak hal. Menggali ilmu-ilmu. Membuktikan dunia semenakjubkan
yang kubaca di buku…” kata-kataku menggantung, membayangkan hal tersebut dan
merasa seperti aku sedang berada di dunia lain yang belum pernah kutemui. Entah
di timur, entah di barat. Namun, aku tersentak dan dengan cepat menyadari bahwa
aku masih di sini. Di perpustakaan ini. Di Kerajaan Blezard, suatu daerah di
tenggara, dengan musim panas dan penghujan yang seimbang. Kulirik Pak Gaspar
yang tersenyum mendengar pengakuanku.
“Mimpi
yang luar biasa. Jarang sekali ada gadis kecil sepertimu yang bermimpi seperti
itu. Jangankan seorang gadis, seorang pemuda saja nyaris tidak ada yang ingin
pergi dari ibukota ini.” Pak Gaspar menggeleng-geleng.
0 komentar:
Posting Komentar