23
Oktober



            “Lalu… mengapa gurun sampai dibicarakan?” tanya pangeran Niru lagi.
            Aku dan Pak Gaspar saling pandang. Tidak yakin untuk mengatakan bahwa itu pengalihan cerita dari kata-kata Pak Gaspar tentang kenyataan kondisi kerajaan di luar ibu kota Heka—meskipun aku belum tahu kenyataan yang dimaksud. Tapi aku cukup mengetahui posisi Pak Gaspar terkait hal ini. Dia pasti tidak ingin ketahuan berusaha mengungkap sisi lain suatu kerajaan—yang sepertinya tidak baik—oleh pangeran kerajaan itu sendiri.
            “Uhm… aku berencana untuk jadi pengelana kelak, seperti Thum Bhou,” ungkapku sedikit terpaksa mengungkapkan rencanaku yang entah kapan akan ku mulai mempersiapkannya. Thum Bhou adalah pengelana dan seorang bijak yang sangat terkenal. Ia menceritakan seluruh pengalamannya menjadi sebuah buku saat berkelana ke banyak kerajaan. Aku dan Pangeran Niru senang membaca kisahnya.
            Pangeran Niru ternganga mendengarnya. Sedetik. Dua detik. Tiga detik. “Wow hebat!!,” pekiknya. “Kau tidak bercanda bukan? Kapan kau berencana untuk pergi dari kota ini? Aku dengar para pengelana senang berada di daerah timur.”
            “Sstt… jangan keras-keras. Itu kan masih rencana,” bisikku pelan.
            “Kenapa? Aku tahu itu merupakan sedikit masalah mengingat peraturan  bahwa tidak sembarang orang boleh keluar dari ibu kota ini. Tapi aku dapat menyelundupkanmu ke luar, bahkan langsung keluar dari pulau kerajaan ini. Itu perkara kecil. Aku tidak akan memberi tahu Pangeran Aphrez, aku tahu dia-lah perkara sebenarnya bagi dirimu,”Pangeran Niru mengecilkan suaranya lalu menoleh-noleh. “Lagi pula tidak ada yang mende…” kata-kata Pangeran Niru terputus saat melihat ke belakang dan terdiam mendapati kakak perempuannya, Putri Shahana berdiri mematung di pintu entah dari kapan. Aku dan Pak Gaspar menoleh ke arah yang sama.
            “Oh tidak, aku lupa menutup pintu,” gumam Pangeran Niru.
            Putri Shahana berjalan kaku dengan sedikit angkuh menuju meja kami setelah ketahuan menguping. “Aku butuh buku itu,” tunjuknya pada buku yang sedang kubaca. Aku berdiri dan memberinya buku tersebut dengan gerakan hormat seorang rakyat jelata kepada putri kerajaannya.
            “Sejak kapan seorang Putri Shahana membaca?” celetuk Pangeran Niru. Tampaknya ia berpikiran sama denganku bahwa itu hanyalah basa-basi. Putri Shahana melirik angkuh—bahkan kepada adiknya sendiri keangkuhannya tidak berkurang. “Bukan urusanmu!” desisnya, lalu berbalik dan terburu-buru keluar dari perpustakaan.
            Aku terduduk lemas, khawatir. “Bagaimana jika dia memberi tahu Pangeran Behrooz. Seperti katamu Pangeran Niru, aku tidak ingin dia mengacaukan rencanaku. Aku bahkan belum mempersiapkannya.”

0 komentar:

Posting Komentar