“Lalu… mengapa gurun sampai dibicarakan?” tanya
pangeran Niru lagi.
Aku
dan Pak Gaspar saling pandang. Tidak yakin untuk mengatakan bahwa itu
pengalihan cerita dari kata-kata Pak Gaspar tentang kenyataan kondisi kerajaan
di luar ibu kota Heka—meskipun aku belum tahu kenyataan yang dimaksud. Tapi aku
cukup mengetahui posisi Pak Gaspar terkait hal ini. Dia pasti tidak ingin
ketahuan berusaha mengungkap sisi lain suatu kerajaan—yang sepertinya tidak
baik—oleh pangeran kerajaan itu sendiri.
“Uhm…
aku berencana untuk jadi pengelana kelak, seperti Thum Bhou,” ungkapku sedikit
terpaksa mengungkapkan rencanaku yang entah kapan akan ku mulai
mempersiapkannya. Thum Bhou adalah pengelana dan seorang bijak yang sangat
terkenal. Ia menceritakan seluruh pengalamannya menjadi sebuah buku saat
berkelana ke banyak kerajaan. Aku dan Pangeran Niru senang membaca kisahnya.
Pangeran
Niru ternganga mendengarnya. Sedetik. Dua detik. Tiga detik. “Wow hebat!!,”
pekiknya. “Kau tidak bercanda bukan? Kapan kau berencana untuk pergi dari kota
ini? Aku dengar para pengelana senang berada di daerah timur.”
“Sstt…
jangan keras-keras. Itu kan masih rencana,” bisikku pelan.
“Kenapa?
Aku tahu itu merupakan sedikit masalah mengingat peraturan bahwa tidak sembarang orang boleh keluar dari
ibu kota ini. Tapi aku dapat menyelundupkanmu ke luar, bahkan langsung keluar
dari pulau kerajaan ini. Itu perkara kecil. Aku tidak akan memberi tahu
Pangeran Aphrez, aku tahu dia-lah perkara sebenarnya bagi dirimu,”Pangeran Niru
mengecilkan suaranya lalu menoleh-noleh. “Lagi pula tidak ada yang mende…”
kata-kata Pangeran Niru terputus saat melihat ke belakang dan terdiam mendapati
kakak perempuannya, Putri Shahana berdiri mematung di pintu entah dari kapan.
Aku dan Pak Gaspar menoleh ke arah yang sama.
“Oh
tidak, aku lupa menutup pintu,” gumam Pangeran Niru.
Putri
Shahana berjalan kaku dengan sedikit angkuh menuju meja kami setelah ketahuan
menguping. “Aku butuh buku itu,” tunjuknya pada buku yang sedang kubaca. Aku
berdiri dan memberinya buku tersebut dengan gerakan hormat seorang rakyat
jelata kepada putri kerajaannya.
“Sejak
kapan seorang Putri Shahana membaca?” celetuk Pangeran Niru. Tampaknya ia
berpikiran sama denganku bahwa itu hanyalah basa-basi. Putri Shahana melirik
angkuh—bahkan kepada adiknya sendiri keangkuhannya tidak berkurang. “Bukan
urusanmu!” desisnya, lalu berbalik dan terburu-buru keluar dari perpustakaan.
Aku
terduduk lemas, khawatir. “Bagaimana jika dia memberi tahu Pangeran Behrooz.
Seperti katamu Pangeran Niru, aku tidak ingin dia mengacaukan rencanaku. Aku
bahkan belum mempersiapkannya.”
0 komentar:
Posting Komentar