31
Oktober


Saat sampai di tengah ruangan, tahulah ia mengapa terdapat cahaya hijau dan intensitas cahayanya berbeda. Batu Oyra yang telah sepenuhnya bercahaya memantulkan cahayanya tegak lurus pada batu safir biru sehingga menghasilkan cahaya hijau. Dan saat Pak Gaspar melihat ke arah kolam batu, seluruh air menjadi kuning terang seakan ada matahari di dalamnya.
            “Begitu rupanya, air ini mengurangi cahaya yang dihasilkan Batu Oyra agar cahayanya tidak menyelinap ke luar karena terlalu terang,” batin Pak Gaspar. “Tampaknya keluarga kerajaan harus belajar pada pendahulu mereka. Kalau sudah begini, tentunya hal ini akan susah disembunyikan dari rakyat, apalagi bangsawan lain yang sebelumnya tidak terlibat.

Berbagai belahan lain di dunia…
            Seluruh kerajaan telah bersiap, menerima atau memanfaatkan sang penakluk.
            Namun… ternyata tidak seluruh kerajaan mengetahui siapa penakluk yang terpilih dari kerajaan mereka.
***

SANG HYDRA
Lembah kematian…
            Karin berusaha menggerakkan badan meski seluruh tubuhnya terasa nyeri. Matanya pun susah untuk dibuka. Seluruh gerakan terasa berat. Setelah berusaha sekuat tenaga, dia bisa menggerakkan sebelah tangannya. Dengan susah payah juga dia berusaha membuka matanya sambil menutupinya dengan tangan, mengira akan dapat menghalau cahaya matahari yang menyilaukan begitu membuka mata.
            Namun, setelah membuka mata perlahan, tidak ada yang menyilaukan, tidak ada sinar matahari, semua gelap gulita kecuali sebaris cahaya yang berada di atas. Begitu matanya menyesuaikan dengan kegelapan sekitar, sadarlah bahwa ia berada di atas pilinan benang tebal yang lengket, seperti jaring laba-laba raksasa.
            Dengan panik Karin melepaskan diri dari lengketnya benang-benang tersebut. Tetapi instingnya mengalihkan pandangannya ke sekitarnya. Perlahan-lahan dua cahaya merah mendekat, kemudian dari sisi lain delapan cahaya merah, dua cahaya merah, dan puluhan cahaya-cahaya lain dari sisi-sisi yang lain. Saat cahaya-cahaya itu sudah sangat dekat darinya, sadarlah Karin bahwa cahaya-cahaya tersebut adalah mata dari binatang-binatang berukuran raksasa yang tampak sangat lapar.

31
Oktober


Kulirik sekilas para pengawal itu sudah sampai di bagian bawah sulur yang kupakai untuk memanjat. Spontan aku langsung melompat ke arah pohon yang ku tuju dan meraih salah satu dahannya lalu menaikkan tubuhku ke salah satu dahan tersebut. Aku berusaha secepatnya menuruni pohon, begitu menapaki tanah, kulihat seorang pengawal sudah mencapai atas tembok dan perkiraanku bagian pengawal lain menuju ke sini dengan melewati gerbang. Aku pun berlari memasuki hutan dengan pepohonan rapat yang gelap. Hutan ini memang menyeramkan karena itu jarang patroli kerajaan melewatinya, ditambah saat ini hari telah senja. Aku terus memaksakan kakiku berlari. Belum pernah aku berlari secepat dan sejauh ini. Setelah langit berubah gelap dan bulan serta bintang-bintang menampakkan dirinya, barulah aku berhenti lalu mengatur nafas di sisi sungai berarus deras yang langsung menuju air terjun derco. Aku menengadahkan tanganku hendak mengambil minum dari air sungai saat kemudian terdengar bisikan-bisikan halus dan gemerisik ranting-ranting pohon di sekelilingku. Aku menjadi waspada. Sempat kudengar rumor yang mengatakan bagian hutan ini cukup angker karena banyak binatang-binatang berbahaya. Aku memang sudah terlalu jauh masuk ke dalam hutan dan aku yakin tidak sejauh ini yang dimaksud Pak Gaspar. Entah khawatir akan para pengawal atau binatang buas sedang mengamatiku, aku memaksakan diri kembali berlari menyusuri sungai, tidak ingin tersesat kembali lebih jauh jika kembali ke dalam hutan.
Kaki ini seakan bukan milikku saat kupaksa berlari lagi. Namun, belum jauh jarak yang kutempuh,  tiba-tiba aku melihat bayanganku terbentuk. Kusadari ada cahaya perak kebiru-biruan di belakangku dan membuatku menoleh ke belakang. Saat itu pula cahaya itu menerjangku. Membuatku terlempar, ke arah sungai yang deras, melingkupiku. Sejurus kemudian ku rasakan dinginnya air. Dan segalanya menjadi gelap.
***

Sementara itu, di tempat lain…
Kerjaan Blezard—Ibukota Heka
            Seluruh penduduk mendadak terperangah dan terkejut. Semua menghentikan kegiatan yang sedang dilakukan saat melihat cahaya terang berwarna hijau mendadak menyelimuti istana kerajaan.

Kerajaan Blezard—Perpustakaan istana
            Saat masih mengkhawatirkan keadaan Karin, Pak Gaspar diliputi kebingungan lain saat istana tiba-tiba diliputi cahaya hijau. Otaknya berpikir cepat dan langsung membuka ruang rahasia. Begitu ukiran naga bergeser, cahaya hijau lain menyeruak ke luar, namun, tidak seterang cahaya yang menyelimuti istana. Sehingga Pak Gaspar tidak harus menutupi matanya dan berjalan meraba ke dalam ruang rahasia. 

29
Oktober


Aku mengangguk. “Saat Pak Gaspar keluar pertama kali dan ku kembalikan batu Oyra, baru ujungnya saja yang bercahaya. Sesaat sebelum kita keluar batu itu sudah bercahaya setengah.”
Wajah Pak Gaspar berubah takjub. “Mungkin kau benar, mungkin kita bisa meminta pertolongannya.”
“Yeah jika bukan saudara-saudariku yang jadi penakluk. Kalau aku, aku bersedia saja membantu,” potong Pangeran Niru.
Tidak lama kemudian, derap kaki beberapa pengawal bergema melangkah ke arah perpustakaan. Kami pun panik. Dinding-dinding perpustakaan ini penuh dengan jendela-jendela besar, tetapi jendela-jendela tersebut berteralis.
“Cepat keluar dari jendela itu!” seru Pak Gaspar memberi jalan keluar sambil menunjuk ke arah jendela kecil di atas salah satu rak buku yang tidak berteralis.
Aku pun memanjat rak buku tersebut dengan terburu-buru.
“Pergilah ke arah hutan di dekat air terjun. Di situ jauh dari pos penjaga dan jarang patroli kerajaan melintas. Tunggu sampai ku bawa berita tentang situasi aman atau tentang sang penakluk,” pesan Pak Gaspar dengan suara berbisik selagi aku memanjat.
Setelah berhasil mencapai jendela, aku melompat ke semak-semak di samping dinding perpustakaan dan langsung merunduk ke samping semak-semak bertepatan dengan masuknya beberapa pengawal. Aku tidak ingin membuang waktu dengan mendengarkan mereka. Aku merayap di samping semak yang tumbuh di sepanjang dinding perpustakaan bagian luar.
Sesampainya di sudut, semak-semak pun berakhir. Aku bangkit dan berlari. Namun, tanpa sengaja menabrak salah seorang pekerja taman yang sepertinya baru saja merapikan taman pojok istana. Perhatian para pengawal teralihkan kepada kami. Mereka berteriak menyuruhku diam di tempat dan secepat mereka keluar perpustakaan untuk menangkapku, secepat itu pula aku bangkit kembali dan berlari. Tiba-tiba lenganku ditarik oleh seseorang. Pangeran Behrooz! Ia memaksaku mengikutinya menuju salah satu sisi pagar istana yang mepet dengan salah satu bangunan. Sisi pagar tersebut kurang di rawat sehingga beberapa sulur tanaman merambat menjalari tembok. Setelah menyatukan beberapa sulur dan memastikannya cukup kuat, ia memberikannya padaku.
          “Naiklah, ini cukup aman,” ucapnya. Pangeran Behrooz lalu pergi tanpa aku sempat berterima kasih. Mungkin ia tidak ingin ketahuan terlibat dalam melarikanku. Kupanjat dinding tersebut tanpa memperdulikan suara-suara pengawal yang mulai mendekat. Setelah memanjati tembok istana yang sangat tinggi, aku menyeimbangkan badanku untuk berjalan perlahan di atas pagar istana mendekati pohon yang tumbuh di luar pagar dan paling dekat dengan tembok. Sisi istana sebelah timur ini memang langsung bersisian dengan hutan yang dimaksud Pak Gaspar yang mengelilingi kota dan istana. 

29
Oktober


“Apa… apa yang dikatakannya?” tanyaku lagi dengan gusar.
“Dia berkata bahwa kau akan pergi malam ini juga. Dan bahwa kau mempunyai kekasih di ibu kota serta bersiap-siap pergi diam-diam dengan kekasihmu. Aphrez kalap dan segera menyuruh seluruh pengawal yang dimilikinya untuk mencarimu. Putri Shahana pun ikut meminjamkan pengawalnya,” terang Pangeran Niru lagi. Seluruh keluarga kerajaan punya beberapa pengawal yang menjaganya.
“Kekasih! Aku punya kekasih! Pergi diam-diam! Untuk apa? Benar-benar isu murahan!” umpatku dengan frustasi.” Oh… tidak… apa yang harus kulakukan? Aku benar-benar takut, aku tidak ingin dinikahi Pangeran Aphrez. Tidak sekalipun jadi permaisurinya. Putri Shahana benar-benar mencelakaiku sekarang.”
“Tenangkanlah pikiranmu terlebih dahulu. Selain itu, sebaiknya kita keluar dari sini. Aku khawatir kalau-kalau ada yang mencoba mencarimu di sini,” usul Pak Gaspar. Kami pun segera keluar dari ruang rahasia dan Pak Gaspar menutupnya.
“Apa tidak ada tempat persembunyian yang lain di kota ataupun kerajaan ini? Mungkin penakluk itu bukan Pangeran Behrooz ataupun Putri Shahana. Mungkin kita bisa meminta tolong padanya.” Aku langsung mengoceh sendiri dan berjalan mondar-mandir dengan gelisah.
Pangeran Niru dan Pak Gaspar saling berpandangan.
“Penakluk?” tanya Pangeran Niru.
“Ya… penakluk yang dalam cerita legenda mereka mendapatkan kekuatan dari bulan biru. Jika cerita itu benar, salah satunya seharusnya ada di kerajaan ini kan,” jawabku sambil terus memikirkan tempat bersembunyi yang aman dari kejaran pengawal. Perbukitan di mana istana dan ibu kota kerajaan berada cukup luas. Namun, apabila Pangeran Aphrez bertindak lebih jauh, tentu dengan mudah pengawalnya menyisir perbukitan.
“Dari mana kau mengetahuinya?” pertanyaan Pangeran Niru membuyarkan pemikiranku.
“Aku rasa hanya keluarga raja saja yang mengetahuinya. Itu pun diceritakan dari mulut ke mulut dan kami harus merahasiakannya,” lanjutnya.
Aku menunjuk ukiran naga tempat masuk ke ruang rahasia. “Tertulis jelas cerita lengkapnya di salah satu buku di ruang rahasia.” Pangeran Niru terperangah tidak percaya. Kelihatannya ia meyakini itu rahasia sakral yang harus dijaga rapat-rapat.
“Tunggu sebentar, tadi kau berkata ingin minta tolong pada penakluk itu. Apa ini sudah waktu kemunculannya?” tanya Pak Gaspar.

29
Oktober


Kalau dilihat dari perkiraan waktu saat pertama ujung batu Oyra bercahaya hingga sekarang cahayanya sudah mencapai setengah, berarti kemungkinan hari ini penakluk tersebut akan dipilih, pikirku takjub. Akankah benar-benar terjadi seperti dalam cerita, seseorang yang dapat menguasai orang lain? Luar biasa. Aku ingin bertemu orang seperti itu.
Grek… Grek… Grek…
Pintu yang terbuka mengalihkan perhatianku. Kulihat Pak Gaspar mulai keluar dari kegelapan terowongan, dan… Pangeran Niru! Kekagetanku berubah menjadi kekhawatiran saat mereka mulai mendekat. Raut wajah mereka terlihat gusar, menandakan ada yang tidak beres.
“Ada apa?” tanyaku.
“Aku sudah berusaha sebisanya,” Pangeran Niru berbicara dengan sedikit gugup.
“Maksudnya?” tanyaku lagi.
“Kau mendengar suara pintu ditutup tadi?” perhatianku beralih ke Pak Gaspar dan mengangguk.
“Saat aku menjaga perpustakaan selagi kau di dalam, Pangeran Niru tiba-tiba masuk dengan terburu-buru dan menanyakan di mana kau berada. Lalu ku katakan kau berada di ruang rahasia, kemudian Pangeran Niru menyuruhku menutup ruang rahasia itu. Tidak lama kemudian Pangeran Aphrez datang bersama beberapa pengawal. Dia juga menanyakan keberadaanmu. Aku pun segera mengerti situasinya. Aku mengatakan bahwa kau tiba-tiba merasa tidak sehat sehingga pulang lebih awal. Melihat Pangeran Niru di situ, awalnya dia tidak percaya dan bahkan membentakku. Dia juga mengancam Pangeran Niru apabila ikut campur urusannya. Dia pun menyuruh pengawal-pengawalnya mencari ke seluruh sudut perpustakaan. Saat tidak menemukan dirimu, dia bersegera keluar perpustakaan setelah sebelumnya menyuruh dua pengawalnya berjaga di ruangan sehingga kami tidak segera memberi tahumu. Beruntung mereka mendapat tugas lain,” terang Pak Gaspar.
Tidak butuh waktu lama untuk mencerna kata-kata Pak Gaspar dan mengetahui kemungkinan besar yang sedang terjadi. Seketika itu juga bagai ada petir yang menyambar, kekhawatiranku tampaknya berubah menjadi kenyataan.
“Berarti Putri Shahana memberi tahunya?”
“Ternyata setelah dari perpustakaan dia langsung menemui Aphrez. Saat aku masuk, dia sudah bercerita setengah. Terlambat untukku melobinya.” Pangeran Niru membela diri. “Dia bahkan melebih-lebihkan cerita yang membuat Aphrez seperti kesetanan mencarimu dimana-mana.

29
Oktober


Grek… grek… BRAK!!
Terdengar olehku suara pintu masuk di tutup. Mengalihkanku dari buku yang sedang kubaca. “Siapa yang menutup pintu? Apakah Pak Gaspar? Ada apa?” Sekelebat tanda tanya memenuhi pikiranku. Tapi tetap ku coba berpikir positif. “Ah… mungkin Pak Gaspar tidak ingin ketahuan membawa seseorang masuk ke ruang rahasia ini. Bukankah dia di larang memberi tahu siapa pun.” Konsentrasiku pun kembali kepada buku.


...Hingga kini, sang putri yang ambisius sendirian dan terlupakan di dalam istana. Berharap akan ada yang melepaskannya suatu hari nanti.
***

Aku menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan keras. Berbagai pikiran berkecamuk di dalam kepalaku. Apa cerita ini benar? Penakluk seperti itu benar-benar ada? Terdengar seperti dongeng. Tapi jika dongeng mengapa disimpan di dalam ruang rahasia dan diturunkan dari generasi ke generasi? Putri dari kerajaan sebelah tenggara? Mungkinkah putri pendahulu dari kerajaan ini? Apa karena itu cerita ini tidak disebarluaskan di kerajaan? Karena malu mempunyai putri pengkhianat? Apa berarti penakluk-penakluk yang datang sesudahnya pun tidak mengetahui cerita ini? Tapi apa yang ingin diberi tahu Pak Gaspar dengan menunjukkan buku ini? Aku berasumsi sendiri.
Aku pun mengambil buku selanjutnya, ‘Bahasa Kuno Perbintangan.’ Sebersit pikiran lain melintas. Tampaknya aku masih asik memikirkan cerita ‘Para Penakluk’ tersebut. Kira-kira siapakah penakluk selanjutnya? Mungkinkah tahun ini dia akan datang? Mungkin juga aku bisa minta tolong dengannya agar Pangeran Aphrez menjauhiku. Pikirku geli. Diliputi rasa penasaran lain, aku tidak jadi membaca buku ‘Bahasa Kuno Perbintangan’ dan menaruhnya di kursi kembali. Aku bangkit dan menuju batu besar di tengah ruangan lalu melongokkan kepala melihat ke dalam kolam. Aku terperangah. Batu Oyra sudah bercahaya setengahnya. Ku tengadahkan kepala ke langit-langit. Dua batu safir mulai bersinar lemah dan yang lain-lain kehilangan sinarnya.

29
Oktober


           “Danther dan… Iruther,” ucapku, “apa artinya?”
          Aku menoleh ke arah Pak Gaspar yang ku sadari sudah pergi dari tempatnya berdiri tadi lalu kembali dari sebuah rak. Di tangannya terdapat dua buah buku, lalu disodorkannya padaku.
         “Lebih baik kau mencari tahu sendiri. Aku sudah memilah buku yang berkaitan dengan apa yang kita bahas ini.”
        Aku menerima buku-buku bersampul kulit itu. Sedikit tergetar oleh luapan senang akan mengorek informasi dari buku yang terjaga di dalam ruangan rahasia. Buku ini tentunya berharga hingga tidak di taruh sembarangan di perpustakaan.
          Aku tersenyum pada Pak Gaspar. Tatapanku menyiratkan kesenangan.
        “Kurasa kau perlu ruangan sendiri. Aku akan menunggumu di luar, kalau-kalau ada yang berkunjung, lanjut Pak Gaspar dan memberi batu Oyra juga obor yang tadi dibawanya lalu menuju kembali ke terowongan yang gelap. Aku tahu Pak gaspar menyadari kebiasaanku yang lebih suka membaca tanpa di ganggu seseorang. Padahal, aku juga tahu jika jam segini nyaris tidak ada orang yang berkunjung ke perpustakaan. Mungkin hanya satu-dua bangsawan yang datang sekedar mengecek sesuatu di beberapa buku. Cendikiawan memang tidak terlalu mendapat tempat di kerajaan ini. Entah di kerajaan lain.
          Saat hendak mengembalikan batu Oyra tersebut, salah satu ujungnya bercahaya. “Apa sudah waktunya batu ini bersinar kembali?” pikirku singkat. Segera kukembalikan batu tersebut karena aku sudah tidak sabar ingin mengetahui apa yang Pak Gaspar ketahui tentang ruangan ini. Kuletakkan obor pada gantungannya di dinding dimana ada sebuah kursi baca panjang di bawahnya. Lalu berusaha menyamankan diri di kursi tersebut.
       Kuteliti kedua buku tersebut. Keduanya terbungkus sampul kulit yang sama. Buku pertama tampak seperti kamus, dengan tulisan ‘Bahasa Kuno Perbintangan’ pada halaman depannya. Dan buku kedua… hmm… ‘The Conquerors.’ Para Penakluk? Apa ini berkaitan dengan penaklukan-penaklukan yang di lakukan di masa lampau? Sepertinya ini lebih menarik di banding menghafalkan perbendaharaan bahasa baru.
        Aku pun memilih untuk membaca buku kedua. Kubuka halaman pertama dan mulai membaca…
***

29
Oktober


          Lubang di dinding itu terlalu kecil untuk di masuki dua orang. Sehingga Pak Gaspar yang membawa obor berjalan terlebih dahulu. Nyala api obor memperlihatkan terowongan berukir indah dan berpotongan sama seperti bingkai ukiran naga Hydor—pantas saja raja yang kelebihan berat badan itu kesulitan melewatinya. Jalanan sepanjang terowongan panjang itu menurun cukup landai, hingga sekitar satu tingkat di bawah permukaan lantai perpustakaan istana. Ujung terowongan pun mulai terlihat. Keluar dari terowongan, sebuah ruangan luas dengan aura mistis yang berpendar kebiruan terlihat. Perkamen-perkamen dan buku-buku bertumpuk di rak yang mengelilingi ruangan. Bagian atap berbentuk kubah menakjubkan dengan ukiran garis-garis rumit dan di beberapa titik pertemuan garis terdapat batu safir biru. Di tengah ruangan, terdapat batu besar dengan permukaan datar yang halus dan tinggi menyamai pinggangku. Batu itu cekung ke dalam dan terisi air. Aku dan Pak Gaspar mendekati batu itu. Di dasar kolam batu tersebut, terdapat sebuah batu dengan bentuk tidak beraturan yang berwarna kuning gelap, tak bercahaya. Kontras terlihat di dasar air jernih yang bersinar sedikit keperakan.
            “Rasanya aku pernah baca tentang ini,” ungkapku memecah kesunyian. “Bahkan batu safir bercahaya di tengah kegelapan oleh air ini. Tapi batu kuning itu tetap kusam dan gelap. Itu adalah batu…”
            “Batu Oyra—batu yang hanya akan bersinar setiap 500 tahun,” potong Pak Gaspar.
            “Dan air ini… air apa?” aku memasukkan tanganku ke dalam kolam batu itu lalu menariknya dengan cepat. Rasanya seperti ditusuk seribu jarum.
            Pak Gaspar terkekeh. “Sentuhannya tidak seindah penampilannya bukan?” Pak Gaspar mengangkat tongkat berjalannya dan memasukkannya ke air, berusaha mendorong batu tersebut naik ke pinggir kolam.
            “Lalu papan konstelasi yang dibuat oleh raja merupakan penyederhanaan konstelasi dari ukiran langit-langit ruangan ini?” ujarku sambil mengadah ke langit-kangit. Ukiran yang detail dari alur bintang-bintang yang luar biasa. Namun, ada yang menarik perhatianku. Beberapa batu safir yang tadi bercahaya tiba-tiba meredup cahayanya. Lalu, kulirik Pak Gaspar yang berhasil mengeluarkan batu Oyra. Aku kembali mengadah ke langit-langit. Tiba-tiba pandanganku tertutup oleh tabir kuning gelap yang berisi dua cahaya biru. Pak Gaspar mendekatkan batu Oyra tepat di depan mataku dan menariknya kembali.
            “Disebut juga batu ramalan jika disatukan dengan safir biru,” lanjut Pak Gaspar.
            “Tapi apa yang diramalkan?” tanyaku.
            “Lihat lebih seksama pada tiap batu safir. Ada tulisan mengelilinginya,” jawab Pak Gaspar menunjuk dua batu safir yang tetap bercahaya setelah batu Oyra di keluarkan dari air.
            Pak Gaspar mengangkat lebih tinggi obor yang dipegangnya. Aku menyipitkan mata berusaha membaca.

28
Oktober

Konstelasi perbintangan Hatysa yang asli terbuat dari pahatan batu ruangan itu sendiri sehingga tidak bisa dipindahkan. Itu adalah peninggalan berharga semenjak kerajaan ini didirikan.”
            “Tunggu sebentar, mengapa raja repot-repot membuat replikanya? Bukankah lebih baik langsung ke ruangan itu jika ingin melihatnya,” potongku cepat-cepat.
            Pak Gaspar tersenyum. “Kau tahu kan raja kita bertubuh besar. Sedangkan jalan menuju ruangan rahasia cukup kecil dan tersembunyi. Dia akan selalu kesulitan melewatinya selama dia tidak menurunkan berat badan.” Aku tersenyum geli mendengarnya. “Dan…” lanjut Pak Gaspar berdiri lalu berjalan ke arah ukiran naga besar di ujung ruangan yang dibingkai persegi panjang secara vertikal, kemudian menekan kepalanya kuat-kuat hingga terdengar bunyi seperti batu yang berpindah. Kepala naga melesak masuk ke dalam. Tiba-tiba bunyi gemuruh terdengar dan ukiran naga tersebut bergeser ke kiri memperlihatkan lubang persegi panjang yang gelap di dinding.
            “Kau memang cukup cerdas menanyakan perihal alasan raja membuat replikanya. Tapi tidak cukup teliti. Bukankah tadi aku berkata Raja Saroush gemar membaca,” seringai jahil Pak Gaspar terlukis di wajahnya. Aku tahu dia menguji penalaranku.
            “Ruangan itu di perpustakaan ini!” pekikku. “Kapan Pak Gaspar menemukannya?”
           “Sejak lama aku mencarinya. Aku penasaran dengan isi ruangan itu. Sampai ku dengar dari Pangeran Behrooz perihal hobinya yang sama dengan kakeknya, yaitu membaca. Aku terpikir bahwa mungkin ruangan itu ada di sini. Dan ukiran naga ini adalah replika dari naga favorit Raja Saroush, naga Hydor Gunung Ceginus di utara yang buas. Aku menemukannya beberapa bulan yang lalu,” jawab Pak Gaspar.
            “Emm… aku tidak mengetahui banyak tentang naga itu, aku belum sampai membaca pada bagian tersebut,” timpalku. “Tapi jika baru saja ditemukan, mengapa aku tidak mengetahuinya? Apa aku tidak cukup terpercaya?”
            “Jangan berpikir seperti itu. Aku ingin memberi tahukannya saat ulang tahunmu ke-17 nanti. Tapi dipercepat tidak apalah,” Pak Gaspar masih tersenyum. Aku membalas tersenyum, mencoba menunjukkan rasa menghargai. “Maaf sudah sempat berburuk sangka,” lanjutku lagi.
               Pak Gaspar tertawa dan mengelus kepalaku. Rasanya seperti dielus seorang ayah.
            “Oke… kita bersiap melihat rahasianya?” tanya Pak Gaspar menunjuk ke lubang tadi. Aku mengangguk dengan semangat.
            Ia lalu mengambil obor dari laci lemari perkakas di arah yang berlawanan dengan lubang tersebut dan menyalakannya.

23
Oktober



            “Aku akan berbicara dengannya. Tenanglah,” bujuk Pangeran Niru.
            “Dia iri denganku,” ungkapku seakan tidak mendengar kata-kata Pangeran Niru. “Aku sering mendengar dayang-dayang yang mengatakan Putri Shahana selalu kesal jika aku muncul di istana. Dia pasti ingin melihatku menderita,” lanjutku gelisah. Aku tahu Putri Shahana iri dengan kecantikanku. Aku bukannya melebih-lebihkan kalau aku cantik. Tapi memang sejak kecil semua orang memuji kecantikanku. Kecantikan yang justru membawa bencana dengan menarik hati Pangeran Aphrez dan membuat iri Putri Shahana. Dan dengan diamnya Pangeran Niru dan Pak Gaspar membuktikan kata-kataku benar. Putri Shahana memang cantik. Tapi tidak cukup cantik jika dibandingkan denganku. Keangkuhan membuatnya tidak ingin disaingi oleh siapa pun. Jika bukan karena Pangeran Aphrez yang mengancamnya apabila macam-macam denganku dan ditambah kedekatanku dengan Pangeran Niru, dia pasti sudah mencelakaiku dari dulu. Jika ada kesempatan membuatku menderita pasti akan dilakukannya. Dan… tampaknya dia sudah menemukan momen yang pas. Jika Pangeran Aphrez mengetahui ini, dia akan mengurungku dalam istana dengan berbagai alasan dan tujuan.
            “Aku akan menyusulnya.” Pangeran Niru berdiri dan berlalu dengan tergesa, merasa bersalah karena suara kerasnya tadi.
            “Nak… semua akan baik-baik saja, tidak perlu terlalu dikhawatirkan,”  ucap Pak Gaspar juga berusaha menenangkan. Namun, melihatku yang tidak menggubrisnya, membuatnya sadar jika itu sia-sia. Kami terdiam agak lama. Menanti-nanti apa yang akan terjadi.
            “Ah!!” serunya menarik sedikit perhatian. “Apa ruangan rahasia bisa sedikit menenangkanmu?” bujuk Pak Gaspar dengan wajah lucu.
            Aku melupakan kegelisahanku sebentar setelah mendengarnya dan menyerongkan badanku sedikit. Pak Gaspar berhasil meraih perhatianku.
            “Bukankah ruangan itu tidak ada yang mengetahui letaknya setelah Raja Saroush wafat?” tanyaku balik. Raja Saroush adalah kakek dari Pangeran Niru.
            “Jika tidak ada yang mengetahuinya, itu kurang tepat. Aku menemukannya. Raja dan para petinggi istana sudah mengetahuinya, tapi memintaku merahasiakannya. Hanya meminta, bukan menyuruh. Karena mereka tidak tertarik pada buku-buku favorit Raja Saroush yang gemar membaca. Mereka hanya tertarik pada konstelasi perbintangan Hatysa,” jawab Pak Gaspar panjang-lebar.
            Konstelasi? Perbintangan? Mataku berbinar. “Maksudnya papan konstelasi misterius yang sempat kulihat saat di antar ke ruang kerja raja?” tanyaku tidak sabar. Pak Gaspar mengangguk.
            “Itu adalah replika. Saat kau melihatnya, papan itu baru selesai dibuat dengan ukuran yang sedikit lebih kecil dari aslinya dan di antar ke ruang kerja raja untuk mendiskusikannya bersama para petinggi kerajaan.

23
Oktober



            “Lalu… mengapa gurun sampai dibicarakan?” tanya pangeran Niru lagi.
            Aku dan Pak Gaspar saling pandang. Tidak yakin untuk mengatakan bahwa itu pengalihan cerita dari kata-kata Pak Gaspar tentang kenyataan kondisi kerajaan di luar ibu kota Heka—meskipun aku belum tahu kenyataan yang dimaksud. Tapi aku cukup mengetahui posisi Pak Gaspar terkait hal ini. Dia pasti tidak ingin ketahuan berusaha mengungkap sisi lain suatu kerajaan—yang sepertinya tidak baik—oleh pangeran kerajaan itu sendiri.
            “Uhm… aku berencana untuk jadi pengelana kelak, seperti Thum Bhou,” ungkapku sedikit terpaksa mengungkapkan rencanaku yang entah kapan akan ku mulai mempersiapkannya. Thum Bhou adalah pengelana dan seorang bijak yang sangat terkenal. Ia menceritakan seluruh pengalamannya menjadi sebuah buku saat berkelana ke banyak kerajaan. Aku dan Pangeran Niru senang membaca kisahnya.
            Pangeran Niru ternganga mendengarnya. Sedetik. Dua detik. Tiga detik. “Wow hebat!!,” pekiknya. “Kau tidak bercanda bukan? Kapan kau berencana untuk pergi dari kota ini? Aku dengar para pengelana senang berada di daerah timur.”
            “Sstt… jangan keras-keras. Itu kan masih rencana,” bisikku pelan.
            “Kenapa? Aku tahu itu merupakan sedikit masalah mengingat peraturan  bahwa tidak sembarang orang boleh keluar dari ibu kota ini. Tapi aku dapat menyelundupkanmu ke luar, bahkan langsung keluar dari pulau kerajaan ini. Itu perkara kecil. Aku tidak akan memberi tahu Pangeran Aphrez, aku tahu dia-lah perkara sebenarnya bagi dirimu,”Pangeran Niru mengecilkan suaranya lalu menoleh-noleh. “Lagi pula tidak ada yang mende…” kata-kata Pangeran Niru terputus saat melihat ke belakang dan terdiam mendapati kakak perempuannya, Putri Shahana berdiri mematung di pintu entah dari kapan. Aku dan Pak Gaspar menoleh ke arah yang sama.
            “Oh tidak, aku lupa menutup pintu,” gumam Pangeran Niru.
            Putri Shahana berjalan kaku dengan sedikit angkuh menuju meja kami setelah ketahuan menguping. “Aku butuh buku itu,” tunjuknya pada buku yang sedang kubaca. Aku berdiri dan memberinya buku tersebut dengan gerakan hormat seorang rakyat jelata kepada putri kerajaannya.
            “Sejak kapan seorang Putri Shahana membaca?” celetuk Pangeran Niru. Tampaknya ia berpikiran sama denganku bahwa itu hanyalah basa-basi. Putri Shahana melirik angkuh—bahkan kepada adiknya sendiri keangkuhannya tidak berkurang. “Bukan urusanmu!” desisnya, lalu berbalik dan terburu-buru keluar dari perpustakaan.
            Aku terduduk lemas, khawatir. “Bagaimana jika dia memberi tahu Pangeran Behrooz. Seperti katamu Pangeran Niru, aku tidak ingin dia mengacaukan rencanaku. Aku bahkan belum mempersiapkannya.”

23
Oktober



            Sementara itu, air muka Pak Gaspar berubah keruh mendengar pertanyaanku. Tampak merenung sebentar lalu mulutnya membuka seakan ingin mengatakan sesuatu namun, ditutupnya lagi—mengurungkan niatnya memberi tahu.
            “Aku akan menceritakannya nanti. Sekarang bukan waktu yang tepat untuk itu.” Akhirnya Pak Gaspar mengatakan sesuatu. “Andaikan kau pergi dalam waktu dekat ini, apa bekal dan persiapanmu untuk berkelana kelak sudah cukup?” tanyanya begitu melihatku ingin protes. Aku menggeleng sebagai jawaban. “Ketika kau sudah siap untuk pergi nak, akan kuceritakan keadaan di luar sana agar kau tidak terkejut menghadapi kenyataan sesungguhnya. Segala yang terlihat indah ternyata hanya fatamorgana,” desahnya.
            Suasana menjadi lebih sunyi. “Mungkin fatamorgana dapat kutemui nanti di gurun.” ucapku memecah kesunyian sembari mengalihkan cerita karena tampaknya Pak Gaspar tidak ingin membicarakan lagi masalah sebelumnya. Kuduga Pak Gaspar pernah ke daerah gersang itu. Pak Gaspar yang tadinya tegang mendadak tertawa dan menjadi lebih rileks. “Ah… ya.. ya.. di kerajaan subur bagai permadani hijau ini memang tidak ada gurun. Setahuku aku hanya pernah menemukan fatamorgana di gurun saja. Waktu itu…”Pak Gaspar menceritakan kejadian saat sepasukan prajurit yang dipimpinnya mendesak pasukan lawan hingga mencapai gurun di barat. Kegembiraan dari kemenangan yang didapat ternyata tidak bertahan lama karena tiba-tiba terjadi badai pasir. Seluruh perbekalan hilang, pasukan tercerai-berai, dan mereka kehilangan arah di gurun yang menyesatkan. Puncak daripadanya adalah saat salah seorang dari mereka melihat oase yang ternyata hanya merupakan fatamorgana lalu mereka yang dilanda kekurangan cairan hebat berlarian ke arah yang dimaksud. Setelah berlari cukup jauh, mereka tidak kunjung mencapai tujuan yang diharapkan. Pak Gaspar pun menyadari bahwa itu hanyalah fatamorgana—sebuah tipuan gurun. Beruntung saat harapan tinggal sisa-sisa, kerajaan Blezard mengirimkan sepasukan naga terbang yang tadinya merupakan bantuan untuk perang. Bantuan itu tidak mendapati pasukan pimpinan Pak Gaspar di area yang seharusnya menjadi tujuan mereka hingga akhirnya mereka berpencar mencari dan menemukan sedikit dari pasukan yang tersisa.
Saat aku ingin bertanya lebih lanjut, pintu perpustakaan membuka dan sekelebat pakaian kerajaan terlihat. Yang jelas itu bukan Pangeran Aphrez. Dia paling anti ke perpustakaan.
            “Kelihatannya seru, sedang bicara tentang apa?” tanya Pangeran Niru langsung menduduki salah satu bangku kosong.
            Aku tersenyum melihat kedatangan Pangeran Niru. Dia adalah anak ke-4 dari Raja Arsalan—raja yang bertakhta saat ini. Bertolak belakang dengan Pangeran Aphrez, Pangeran Niru adalah orang yang ramah, rendah hati, bijaksana, sedikit humoris, dan sama denganku—haus akan pengetahuan. Sifat yang jarang ditemui pada diri seorang pangeran. Tapi justru dengan sifatnya itu, raja seakan meng-anak tirikannya.
            “Tipuan gurun,” celetuk Pak Gaspar.